Harapan Sesaat
Di Telapak Birahi
SUGESTI
aYa ! Aku dapat membaca
rangkaian prosa pada lembar
senyummu tadi malam, Purnama.
Lalu aku jilati air mata yang
hendak lirih pada jiwaku sendiri,
meski sejujurnya masih terdapat
tiga tanda tanya yang cukup
gelap untuk kupahami.
Sementara kau terus
mendesakku mengakhiri
rangkuman kisah ini.
Sungguh bagiku masih terlalu
misteri.
Katamu, 'tak usah kau ratapi'.
Bagiku, 'ini seperti mendzalimi
diri sendiri'.
Mungkin akulah lelaki yang
sebenarnya tumbuh dalam
bayang2 dongengmu selama ini.
Aku hidup untuk meludahi &
menertawakan deritaku sendiri.
Maka, biarlah di pangku langit
aku rebahkan tabir nasib ini.
Di punggung bumi aku kubur
misteri hidup ini.
Garis langkah adalah garis nurani
yang harus aku tempuh
sendiri.
Meski aku harus terperangkap
rayuan angin yang
dengan lembut mencumbui
hasrat ini.
Oleh : Darah Purnama
Kata-kata
Bersama duka gelisah
Terbang tinggi di angkasa
Terkubur rapi di tanah nisan
Bertuliskan sesal ketika kembali
Kepada angin nama berdiskusi
Menulis keluh-kesah berkabut kelabu
Bintang-bintang merapat dedaunan
Di sana kita berjumpa
Bertatap muka berjabat tangan
Dengan perkenalan kata-kata
Siapa namamu?
Namaku luka sakit hati
Di mana rumahmu?
Dalam gubuk yang tersakiti
Di mana kelahiranmu?
Di tempat terang bercahaya harapan
Ditepi jembatan kata-kata kasih sayang terbunuh
Tergadai harapan kosong tanggung jawab durhaka
Sembunyi jangan keluar dari permukaan
Menjadikan kebencian dan kesombongan sejati
Sakit karena tersakiti akan lama disembuhkan
Tetapi sakit karena luka akan sembuh dengan cepat
Bukannya mimpi yang akan membawa kedamaian
Kenyataan yang akan membawa kesengsaraan
Ini kisah burung-burung ditembak atau terpenjara dalam sangkar
Haruskan cinta dan rindu dipaksa demikian
Melemparkan dusta dari penjuru dusta
Oleh : Puisi Adalah Imajinasiku